SULUHNTB.COM – Di bawah langit Mataram yang cerah, Pengadilan Negeri Mataram menjadi saksi bisu perjuangan seorang aktivis bernama M. Fihiruddin.
Pada 10 April 2025, sidang mediasi gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang ia layangkan terhadap Ketua DPRD Nusa Tenggara Barat (NTB) dan sejumlah fraksi DPRD kembali tertunda.
Alasan penundaan terdengar klise namun memicu tanda tanya: prinsipal dari pihak tergugat tidak hadir. Sidang pun ditunda hingga pekan depan, meninggalkan Fihiruddin dan tim kuasa hukumnya dengan semangat yang tak kunjung padam, namun juga rasa frustrasi yang kian mengemuka.
“Prinsipal dari pihak tergugat yakni Ketua dan Fraksi DPRD NTB tidak hadir, sehingga sidang ditunda hingga pekan depan,” kata Gilang Hadi Pratama, S.H., kuasa hukum Fihiruddin, dengan nada tegas di luar ruang sidang.
Meski agenda sidang tak berjalan sesuai harapan, Gilang menegaskan bahwa timnya telah mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang. Berkas-berkas telah disusun rapi, bukti-bukti telah dikumpulkan, dan tekad untuk menuntut keadilan bagi kliennya tetap membara.
Fihiruddin bukan nama asing di NTB. Aktivis yang dikenal vokal ini pernah menjadi sorotan ketika ia terseret dalam kasus pidana Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) beberapa waktu lalu.
Ia sempat meringkuk di sel tahanan Polda NTB, menghadapi tuduhan yang pada akhirnya runtuh di pengadilan. Pengadilan Negeri Mataram membebaskannya, dan putusan itu bahkan diperkuat oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Kemenangan di ranah pidana itu seharusnya menjadi akhir dari perjuangannya. Namun, bagi Fihiruddin, itu hanyalah babak awal.
Perjuangan Fihiruddin kini berlanjut di ranah perdata melalui gugatan PMH yang ia ajukan terhadap Ketua DPRD NTB dan sejumlah fraksi. Gugatan ini bukan sekadar urusan hukum, melainkan simbol perlawanan terhadap apa yang ia anggap sebagai ketidakadilan yang menimpanya.
Ia yakin bahwa tindakan yang dilakukan oleh pihak tergugat telah merugikannya, baik secara moril maupun materil. Meski demikian, jalan menuju keadilan ternyata tak selalu mulus.
Sebelum sidang mediasi ini, Fihiruddin pernah mengajukan gugatan serupa, namun Pengadilan Tinggi NTB menyatakan gugatannya Niet Ontvankelijke Verklaard (NO) atau tidak dapat diterima setelah ia mengajukan banding atas putusan Pengadilan Negeri Mataram.
Putusan itu seperti tamparan baginya, tetapi bukan akhir dari perjuangan. Dengan semangat yang sama, ia kembali mengajukan gugatan, kali ini dengan harapan proses hukum akan berjalan lebih adil dan transparan.
“Sampai kapanpun kami siap dan akan tetap berjuang, kami berharap dari pihak tergugat tetap hadir menjalani persidangan,” tegas Gilang, menegaskan komitmen timnya untuk terus mendampingi Fihiruddin.
Bagi Gilang, sidang ini bukan hanya tentang kliennya, tetapi juga tentang prinsip keadilan yang harus ditegakkan. Ia berharap pihak tergugat, termasuk Ketua DPRD NTB, akan menunjukkan sikap kooperatif dan menghadiri persidangan agar proses hukum dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Di balik keteguhan Fihiruddin dan timnya, ada cerita panjang tentang perjuangan seorang aktivis yang tak kenal lelah. Fihiruddin dikenal sebagai sosok yang kerap mengkritik kebijakan yang dianggapnya merugikan masyarakat. Suaranya lantang, tetapi juga membuatnya rentan menjadi target.
Kasus ITE yang pernah menjeratnya, misalnya, dianggap oleh banyak kalangan sebagai upaya untuk membungkam kritiknya. Namun, pembebasannya dari tuduhan itu membuktikan bahwa kebenaran, meski terkadang tertunda, pada akhirnya akan menemukan jalannya.
Gugatan PMH ini menjadi babak baru dalam perjuangan Fihiruddin. Ia tak hanya ingin membersihkan namanya, tetapi juga menuntut pertanggungjawaban atas apa yang ia alami.
Menurut Gilang, gugatan ini didasarkan pada keyakinan bahwa tindakan pihak tergugat telah melanggar hukum dan merugikan kliennya. Meski rincian gugatan tidak diungkap secara terperinci kepada publik, namun inti dari perjuangan ini adalah keadilan—sesuatu yang Fihiruddin yakini telah dirampas darinya.
Penundaan sidang pada 10 April lalu bukanlah yang pertama dalam perjalanan hukum Fihiruddin. Namun, setiap hambatan seolah menjadi bahan bakar bagi semangatnya.
Di luar pengadilan, ia kerap berbagi cerita dengan para pendukungnya tentang pentingnya terus bersuara meski dihadapkan pada tekanan. Bagi Fihiruddin, perjuangan ini bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk mereka yang merasa suaranya tak didengar.
Di sisi lain, ketidakhadiran pihak tergugat dalam sidang mediasi memunculkan pertanyaan tentang komitmen mereka terhadap proses hukum. Apakah ini sekadar masalah teknis, atau ada motif lain di balik absensi mereka?
Hingga kini, belum ada pernyataan resmi dari Ketua DPRD NTB atau fraksi yang digugat terkait alasan ketidakhadiran mereka. Publik pun menanti bagaimana kelanjutan sidang pekan depan, yang diharapkan dapat memberikan kejelasan bagi kedua belah pihak.
Bagi Fihiruddin, perjuangan ini jauh dari sekadar kemenangan di pengadilan. Ia ingin menunjukkan bahwa seorang aktivis, meski dihadapkan pada berbagai rintangan, tidak akan pernah menyerah.
Di tengah penundaan demi penundaan, semangatnya tetap terjaga. Ia percaya bahwa keadilan, meski kadang datang terlambat, pada akhirnya akan berpihak kepada mereka yang terus berjuang.
Sidang berikutnya dijadwalkan digelar pekan depan, dan mata publik NTB kini tertuju pada Pengadilan Negeri Mataram.
Akankah Fihiruddin mendapatkan keadilan yang ia cari, atau akankah perjuangannya kembali diuji oleh dinamika hukum?
Yang pasti, kisah Fihiruddin adalah cerminan dari seorang pejuang yang tak gentar melawan ketidakadilan, dengan harapan bahwa suaranya akan menggema lebih jauh, menginspirasi mereka yang masih ragu untuk bersuara. ***