SULUHNTB.COM – Koalisi Masyarakat Sipil Sektor Keamanan (KMS) Nusa Tenggara Barat menegaskan agar agenda reformasi kepolisian yang sedang digulirkan pemerintahan Prabowo–Gibran tidak berhenti pada tataran simbol politik.
Mereka meminta proses perubahan di tubuh Polri benar-benar menyentuh akar persoalan dan menghasilkan langkah konkret yang berdampak pada pelayanan publik.
Koalisi ini terdiri dari sejumlah elemen mahasiswa dan organisasi kepemudaan, di antaranya Ketua GMKI Mataram Skalsy Bilardo, Ketua KMHDI Mataram I Putu Eka Widiantara, serta Satya Ubhaya Sakti dari lembaga advokasi.
Dalam pernyataannya, mereka menyoroti rencana pembentukan komisi atau tim khusus reformasi Polri yang dinilai masih abu-abu, tanpa dasar hukum dan kewenangan jelas. “Reformasi Polri bukan sekadar pilihan politik sesaat, melainkan mandat konstitusional yang harus dijalankan secara konsisten dan berkelanjutan,” tegas Skalsy Bilardo.
Menurut KMS NTB, perjalanan reformasi Polri sejak 1998 hingga kini belum sepenuhnya memenuhi amanat konstitusi. Pasal 30 UUD 1945 secara tegas menyebutkan bahwa Polri adalah institusi sipil yang tugas utamanya memberikan perlindungan, pelayanan, serta penegakan hukum.
Namun di lapangan, praktik penyalahgunaan wewenang, intervensi politik, dan lemahnya akuntabilitas masih sering ditemukan. Mereka khawatir, pembentukan komisi reformasi Polri tanpa kewenangan substantif hanya akan menjadi “hiasan politik” yang menghasilkan laporan tanpa implementasi.
Hal itu, menurut KMS NTB, justru berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah maupun kepolisian.
Koalisi juga memetakan akar masalah di tubuh Polri ke dalam tiga dimensi utama.
Pertama, aspek struktural, di mana mekanisme rekrutmen dan promosi jabatan masih sarat patronase dan jauh dari prinsip meritokrasi.
Kedua, aspek regulatif, sebab Undang-Undang Kepolisian beserta aturan turunannya dianggap belum cukup menjamin independensi dan transparansi institusi.
Ketiga, aspek kultural, di mana budaya kekerasan, diskriminasi terhadap kelompok rentan, hingga praktik impunitas masih mengakar kuat dalam organisasi kepolisian. Tanpa menyentuh ketiga aspek ini, reformasi hanya akan berwujud kosmetik: terlihat ada perubahan, tetapi tidak menyentuh akar persoalan.
KMS NTB juga menyoroti risiko politisasi. Jika anggota komisi reformasi berasal dari kalangan yang dekat dengan elite politik atau minim pengalaman advokasi keamanan, proses reformasi bisa berubah menjadi ajang pencitraan rezim.
Mereka menekankan bahwa agenda reformasi harus bebas dari kepentingan politik praktis. Polri harus ditempatkan sebagai institusi yang profesional dan melayani rakyat, bukan alat kekuasaan. “Agenda reformasi harus bebas dari kepentingan politik praktis. Polri harus ditempatkan sebagai institusi yang profesional dan melayani rakyat, bukan alat kekuasaan,” tegas I Putu Eka Widiantara.
Bagi koalisi, revisi Undang-Undang Kepolisian adalah langkah paling mendasar. Hanya melalui perubahan regulasi, Polri dapat benar-benar dibenahi. Mereka menuntut agar pemerintah bersama DPR segera menjadikan revisi UU Kepolisian sebagai prioritas legislasi.
Poin utama yang mereka dorong antara lain membentuk mekanisme pengawasan eksternal yang independen, menegaskan pemisahan Polri dari politik praktis, menjamin akuntabilitas anggaran dan penggunaan kekuatan, serta memastikan perlindungan hak asasi manusia dalam setiap operasi kepolisian.
Tanpa revisi UU, reformasi akan rapuh, mudah digagalkan, dan berulang kali kembali ke pola lama.
Koalisi juga menegaskan bahwa reformasi Polri tidak boleh hanya digerakkan oleh elite politik. Masyarakat sipil, akademisi, organisasi korban, serta komunitas lokal di seluruh Indonesia, termasuk di NTB, harus dilibatkan sejak perencanaan hingga evaluasi.
Partisipasi publik dianggap kunci agar reformasi benar-benar akuntabel dan tidak sekadar jargon. “Kami menyerukan agar masyarakat diberi ruang yang luas untuk ikut menentukan arah reformasi. Tanpa itu, reformasi hanya akan menjadi wacana kosong,” ujar Satya Ubhaya Sakti menambahkan.
KMS NTB menutup pernyataan sikapnya dengan menyerukan agar Presiden, DPR, dan jajaran pemerintah pusat segera mengambil langkah nyata. Mereka menolak segala bentuk gimmick politik yang membungkus agenda reformasi, dan menuntut lahirnya Polri yang profesional, akuntabel, serta berorientasi pada kepentingan rakyat.
Jika tuntutan ini tidak dipenuhi, koalisi memperingatkan bahwa Polri akan kian kehilangan legitimasi di mata publik, sementara demokrasi Indonesia berada dalam ancaman serius. ***
Penulis : Adriyan Wahyudi
Editor : SuluhNTB Editor