Hultah NWDI: Pencerahan, Peradaban, Kebangsaan

Sabtu, 13 September 2025 - 19:41 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Penulis: Dr Salman Faris (Akademisi, pemerhati Seni Budaya, Sosial Politik dan Media)

Hultah NWDI bukan hanya merayakan kelahiran madrasah, melainkan jauh lebih besar dari itu. Madarasah adalah aktualisasi dari ideologi perjuangan. Karena itu, baik kita mulai pembahasan ini dengan pertanyaan, kenapa bukan Nahdlatul Wathan (NW) yang dirayakan secara besar-besaran oleh Maulanassyeikh?

Dalam banyak kesempatan, beliau secara berulang-ulang menegaskan kondisi orang Sasak, terutama pada era 1890-1935. Artinya di penghujung kekuasaan Karangasem Bali dan pada masa penjajahan Belanda. Orang Sasak disebutnya sebagai bangsa yang buta agama, buta huruf, dan diliputi oleh kemiskinan yang sangat parah. Atas dasar itu, Maulanassyeikh berkeyakinan bahwa hanya dengan ilmu pengetahuan ketiga hal tersebut dapat dilawan.

Kesadaran Maulanassyeikh itu dapat disebut sebagai ideologi dasar perjuangan berikutnya. Dalam konteks inilah kita dapat menemukan benang merah pertanyaan di atas.

Bahwa Maulanassyeikh merayakan ideologi dasar. Merayakan konsep perjuangan yang mendasari setiap perjuangan berikutnya, yakni melawan kebutaan agama, kebutaan membaca dan meruntuhkan kemiskinan dengan ilmu pengetahuan.

Dengan perayaan ideologi sebagai substansi dari Hultah NWDI, maka hal ini juga dapat menjadi landasan membangun teori bahwa ideologi perjuangan jauh lebih besar kedudukannya dibandingkan negara, rumah, institusi tempat ideologi tersebut diperjuangkan.

Dengan kata lain, merayakan Hultah NWDI sekaligus merayakan NBDI dan NW. Dalam konteks ini, dapat disebut bahwa NWDI jauh lebih besar dari NW. Karena ideologi NW sebagai organisasi adalah NWDI dan NBDI itu sendiri. Untuk seterusnya kewajiban NW sebagai organisasi adalah memperjuangkan ideologi yang ditanamkan dalam NWDI dan NBDI.

Berpikir tentang pembebasan suatu bangsa pada tahun 1930an, terutama di luar Jawa merupakan lompatan sangat tinggi. Meskipun sebelumnya, orang Sasak sudah mengenali gerakan kemerdekaan melalui organisasi yang pertama kali hadir di Lombok, yakni Sarekat Islam.

HOS Cokroaminoto membawa Sarekat Islam ke Lombok pada tahun 1916. Kemudian pada tahun 1918 pemikiran pembaharuan dibawa melalui Muhammadiyah.

Meskipun Sarekat Islam dan Muhammadiyah memberikan dampak kesadaran pergerakan kemerdekaan di Lombok, namun belum dapat secara signifikan mengubah kebutaan agama, buta huruf, dan kemiskinan orang Sasak. Karena itu, kesadaran pencerahan yang dicetuskan oleh Maulansasseikh pada masa itu dapat disebut sebagai pencerahan awal bagi bangsa Sasak untuk menyadari musuh utama mereka selain kolonialisme.

Dengan demikian, Ideologi utama NWDI adalah pencerahan. Garis utama perjuangan adalah mecerahkan orang Sasak agar bangkit melawan kebuataan agama, buta huruf, dan kemiskinan mereka dalam gelombang yang teroragnisir.

Sebagai medan perjuangan ideologi pencerahan tersebut, kemudian Maulanassyeikh mendirikan madarasah yang disebut Nahdlatul Wathan Diniyyah Islamiyyah (NWDI) pada tahun 1935/1936.

Atas dasar ini, dapat dinyatakan bahwa apa pun perjuangan yang dilakukan oleh generasi penerus Maulanassyeikh mestilah bersumbu pada ideologi pencerahan, yang tugas utama adalah mencerahkan masyarakat.

Bukan malah menajdi aktor yang membelenggu masyarakat dengan doktrin murahan yang berpotensi menyesatkan masyarakat. Sudah tentu, setiap era menghadapi tantangan yang berlainan, namun tidak berarti ideologi utama NWDI sebagai pencerahan itu boleh dihapuskan.

Jika masyarakat Sasak kini menghadapi arus dunia tanpa batas, media sosial yang tidak memiliki garis demarkasi, penjajahan dunia baru, kesimpang-siuran global, ideologi pencerahan NWDI harus tetap dijadikan asas utama untuk mencerahkan masyarakat agar menemukan perisasi yang relevan.

Baca Juga :  NARASI: Pemerintah Perlu Memikirkan Jutaan Orang Kota Yang Tinggal Di Kontrakan Sempit

Karena pencerahan sebagai ideologi, maka seharusnya NWDI bisa melompat jauh lebih tinggi, menjangkau dunia yang jauh lebih luas. Bukan malahan terjebak sendiri dalam kegelapan dengan hanya bekutat pada isu-isu domestik. Isu rumahan yang hanya menyangkut nasib segelintir manusia.

Jika ini terus terjadi, maka dapat saya katakan, generasi penerus telah keluar, bahkan berkhianat terhadap ideologi dasar yang telah diletakkan oleh Maulanassyeikh.

Seterusnya NWDI sebagai peradaban yang lahir dari momen penciptaan yang visioner, ketika seorang pemimpin mampu melihat lebih jauh daripada zamannya. Bagi bangsa Sasak, momen itu hadir melalui Maulanassyeikh dengan pendirian NWDI pada tahun 1935/1936.

Hultah NWDI kerana itu tidak sekadar ulang tahun sebuah institusi pendidikan, tetapi perayaan terhadap lahirnya sebuah kesedaran peradaban.

Madrasah yang dibangun bukan hanya ruang belajar, melainkan simbol penciptaan jalan baru bagi orang Sasak untuk keluar dari keterbelakangan. Dalam konteks ini, Hultah NWDI dapat dimaknai sebagai pengakuan bahawa penciptaan peradaban Sasak modern bermula dari ruang kelas kecil di Pancor yang menyalakan api pencerahan.

Perjuangan membangun peradaban melalui NWDI tidak sederhana. Ia lahir dari kondisi bangsa Sasak yang dicirikan oleh Maulanassyeikh sebagai buta agama, buta huruf, dan terhimpit kemiskinan. Melawan tiga hal ini tidak hanya memerlukan tindaka berani, di luar kotak, melawan arus, memberontak atas kemapanan belenggu, tetapi juga gagasan besar yang mampu mengubah arah sejarah.

NWDI menjadi jawaban konkret. Sebuah madrasah sebagai simbol melawan buta huruf, sekaligus benteng melawan kemiskinan dan kebutaan agama. Inilah perjuangan peradaban, di mana ilmu pengetahuan diposisikan sebagai senjata utama untuk membebaskan manusia dari kegelapan.

Jika kita membaca kembali narasi sejarah, maka jelaslah bahawa NWDI merupakan artikulasi paling kuat tentang bagaimana bangsa Sasak memasuki era peradaban modern. Seperti yang saya katakan di atas, Sarekat Islam dan Muhammadiyah yang lebih dahulu hadir di Lombok memang menanam benih kesedaran, tetapi belum berhasil menjangkau persoalan mendasar orang Sasak pada masa itu.

Peradaban yang dibawa NWDI berakar dari realitas lokal, merespons langsung penderitaan orang Sasak. Di sinilah letak perbedaan mendasar dengan apa yang dilakukan Maulanassyeikh yang berkeyakinan bahwa peradaban tidak cukup dengan ide besar dari luar, melainkan harus tumbuh dari rahim penderitaan sendiri. NWDI adalah wujud kemandirian Sasak dalam mencipta jalan pencerahan mereka.

Hultah NWDI kerana itu harus dibaca sebagai perayaan perjuangan. Perjuangan bukan hanya dalam arti politik melawan penjajahan, tetapi perjuangan kultural untuk membentuk manusia berpengetahuan kritis. Ketika bangsa lain merayakan organisasi atau partai politik, Maulanassyeikh justru merayakan sebuah madrasah.

Pilihan ini bukan kebetulan, melainkan pernyataan tegas bahawa inti dari perjuangan peradaban adalah pencerdasan. Perayaan ini menegaskan bahawa ilmu dan pendidikan lebih besar nilainya daripada sekadar wadah organisasional.

Dalam perspektif global, tantangan peradaban kini telah berubah wajah. Orang Sasak menghadapi arus globalisasi, digitalisasi, dan kapitalisme yang membentuk penjajahan gaya baru. Buta huruf kini mungkin tidak lagi dalam arti tradisional, tetapi dalam bentuk buta digital, buta informasi, dan buta moral.

Baca Juga :  OPINI : Desa Berdaya, Jalan Sunyi - Penanggulangan Kemiskinan dari Akar (Catatan kecil dari Rakor Gubernur bersama Bupati/Walikota)

Dalam konteks ini, ideologi pencerahan NWDI tetap relevan, bahkan semakin mendesak untuk diperbarui. Pencerahan bukan lagi sebatas pandai membaca huruf, tetapi membekali masyarakat Sasak dengan kemampuan kritis untuk menghadapi dunia tanpa batas.

Hultah NWDI, jika dipahami sebagai perayaan peradaban, harus mendorong generasi kini untuk melanjutkan lompatan sejarah yang pernah dilakukan Maulanassyeikh. Harus menjadi ruang refleksi untuk bertanya apakah ideologi pencerahan itu masih dihidupkan, ataukah telah dipadamkan oleh orientasi sempit?

Merayakan Hultah hanya dengan pesta keramaian dengan menjauhkannya dari esensi mencerahkan masyarakat adalah membelokkan Hultah NWDI dari peradaban.

Dalam hal ini, Hultah NWDI dapat dipandang sebagai hari jadi peradaban bagi bangsa Sasak. Sudah pasti bukan sekadar tradisi tahunan, melainkan titik pengingat bahawa bangsa Sasak pernah memilih jalan pendidikan sebagai senjata utama untuk bangkit.

Peradaban yang dibangun bukan berbasis kekuasaan politik atau kekuatan militer, melainkan pada kecerdasan dan ketajaman ilmu. Maksudnya ialah peradaban NWDI ialah peradaban ilmu pengetahuan yang mencerahkan. Bukan ilmu pengetahuan yang dikapitalisasi dan dikomodifikasi untuk membelengggu masyarakat pada doktrin buta.

Penting saya tegaskan terkait pemaknaan lebih luas tentang doktrin buta. Karena NWDI bersumbu pada ideologi pencerahan dan perjuangan peradaban, maka NWDI wajib hadir dalam setiap persoalan orang Sasak. Wajib ada di semua lini kehidupan orang Sasak.

Meskipun awalnya madarasah sebagai medan, dalam situasi terkini madrasah harus dipahami secara lebih luas, yakni yang dimaksudkan madarasah ialah bangsa Sasak itu sendiri.

Dengan begitu, NWDI tidak boleh menutup mata atas seluruh nasib segenap bangsa Sasak di era yang penuh kegelapan ini. Ringkasnya, NWDI tidak boleh hanya mengurusi masalah agama pendidikan, sosial, dan dakwah. NWDI wajib terlibat dalam melawan kemiskinan orang Sasak yang masih mengakar di arus globalisasi.

Wajib terlibat dalam persoalan ketidakadilan atas pekerjaan, atas tanah, atas hak-hak dasar manusia yang menimpa bangsa Sasak. Karena membawa orang Sasak menuju kesejahteraan ialah salah satu visi utama NWDI yang tertuang dalam ideologi pencerahan.

NWDI tidak boleh mengurung diri hanya dalam ruang moral baik dan buruk, nilai benar dan salah karena masalah orang Sasak semakin kompleks. Ideologi pencerahan NWDI harus digerakkan secara lebih luas agar dapat menjangkau kompleksitas bangsa Sasak. Karena rahim NWDI adalah bangsa Sasak.

Itu adalah sejarah utama NWDI. Bangsa Sasak adalah darah perjuangan NWDI. Dengan kata lain, membiarkan masyarakat Sasak selalu miskin, selalu kalah, selalu terasing dari kampung mereka sendiri sama artinya dengan memberangus NWDI dari rahimnya sendiri.

Artinya, segala bentuk perjuangan pencerahan, pembangunan peradaban NWDI haruslah tumbuh dari bangsa Sasak dan untuk bangsa Sasak sendiri. Apakah itu berarti mengecilkan NWDI? Sama sekali tidak. Karena bangsa Sasak adalah entitias Indonesia. Ialah entitas dunia. Maksudnya, perjuangan kebangsaan NWDI ialah peradaban dan kebangsaan dunia.

Maka, enyahkan segala yang membelenggu NWDI di ruang sempit-domestik agar berkibar di altar peradaban dunia.

Malaysia, 13 September 2025

Penulis : Dr Salman Faris

Editor : SuluhNTB Editor

Berita Terkait

OPINI : Desa Berdaya, Jalan Sunyi – Penanggulangan Kemiskinan dari Akar (Catatan kecil dari Rakor Gubernur bersama Bupati/Walikota)
NARASI: Pemerintah Perlu Memikirkan Jutaan Orang Kota Yang Tinggal Di Kontrakan Sempit
NARASI: Gubernur Iqbal Memerlukan Humor Komedian
NARASI: NTB Perkuat Perlindungan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial: Tantangan dan Harapan
Menguak Mistis Lombok dalam Film Horor “Seher”: Kisah Cinta, Budaya, dan Ilmu Hitam

Berita Terkait

Sabtu, 13 September 2025 - 19:41 WIB

Hultah NWDI: Pencerahan, Peradaban, Kebangsaan

Rabu, 27 Agustus 2025 - 06:50 WIB

OPINI : Desa Berdaya, Jalan Sunyi – Penanggulangan Kemiskinan dari Akar (Catatan kecil dari Rakor Gubernur bersama Bupati/Walikota)

Sabtu, 7 Juni 2025 - 15:30 WIB

NARASI: Pemerintah Perlu Memikirkan Jutaan Orang Kota Yang Tinggal Di Kontrakan Sempit

Sabtu, 17 Mei 2025 - 13:30 WIB

NARASI: Gubernur Iqbal Memerlukan Humor Komedian

Rabu, 19 Maret 2025 - 06:36 WIB

NARASI: NTB Perkuat Perlindungan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial: Tantangan dan Harapan

Berita Terbaru