Dari Tragedi Thalidomide ke Gagal Ginjal Akut: Seberapa Aman Obat yang Kita Konsumsi?

Kamis, 13 Maret 2025 - 06:41 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

SULUHNTB.COM – Tahun 1960-an dunia dikejutkan oleh tragedi Thalidomide, obat yang awalnya diresepkan untuk mengatasi mual pada ibu hamil, tetapi justru menyebabkan ribuan bayi lahir dengan cacat fisik parah.

Thalidomide menjadi bukti bahwa tanpa pengawasan ketat, obat yang seharusnya menyembuhkan bisa berubah menjadi racun mematikan.

Enam dekade berlalu, dunia farmasi telah berkembang pesat. Namun, masalah efek samping obat masih terus menghantui. Indonesia sendiri beberapa kali mengalami kasus serupa.

Salah satunya adalah gagal ginjal akut akibat cemaran zat berbahaya dalam obat sirop anak yang menewaskan hampir 200 balita.

Kasus ini mengguncang kepercayaan publik terhadap keamanan obat, sekaligus menggambarkan lemahnya sistem pelaporan efek samping obat (ESO) di Indonesia.

Pelaporan Farmakovigilans Masih Lemah, Risiko Pasien Meningkat

Di Indonesia, pelaporan ESO dan Kejadian Tak Diinginkan (KTD) masih belum menjadi prioritas tenaga kesehatan. Bahkan di Nusa Tenggara Barat (NTB), tingkat pelaporan dari fasilitas kesehatan tidak lebih dari 5%.

Hal ini menjadi perhatian utama Balai Besar POM (BBPOM) di Mataram, yang baru saja menggelar Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) Farmakovigilans bertajuk “Penguatan Peran Tenaga Kesehatan dalam Pelaporan Farmakovigilans untuk Perlindungan Pasien”.

Kegiatan ini diikuti oleh 45 tenaga kesehatan dari berbagai fasilitas layanan, baik secara langsung di Aula BBPOM Mataram maupun daring melalui Zoom pada Rabu (12/3)

Baca Juga :  Pj Gubernur NTB Apresiasi Atlet PWI NTB atas Raihan Medali di Ajang Porwanas

Kepala BBPOM Mataram, Yosef Dwi Irwan, dalam sambutannya menekankan betapa krusialnya peran tenaga kesehatan dalam mengawal keamanan obat setelah beredar di masyarakat.

“Jika sejak awal Thalidomide diawasi dengan ketat, ribuan bayi tidak akan menjadi korban. Farmakovigilans bukan sekadar teori, tetapi upaya nyata untuk mencegah tragedi serupa terulang,” tegasnya.

Sayangnya, meskipun pelaporan ESO bersifat wajib bagi industri farmasi, bagi tenaga kesehatan hal ini masih bersifat sukarela. Padahal, merekalah yang berada di garis depan dalam mendeteksi efek samping obat di lapangan.

 

Yosef menjelaskan, untuk kejadian gagal ginjal akut disebabkan karena adanya cemaran EG DEG dalam obat yang diproduksi, di mana secara regulasi EG DEG dilarang digunakan dalam sedian sirup. Cemaran EG DEG ini terjadi karena industri melakukan pengantian suplier bahan baku obat dan tidak melakukan uji kemurnian kandungan bahan tambahan tersebut. “Jadi kalau untuk kasus gagal ginjal murni karena adanya kelalaian pihak industri obatnya ya Pak, BPOM telah memberikan sanksi Pencabutan Izin Edar untuk seluruh produk sedian cair dari beberapa industri farmasi yang terbukti menggunakan bahan tambahan cemaran EG DEG, termasuk dilakukan proses hukum  atau Pro Justitia,” paparnya.

e-MESO: Memudahkan Pelaporan Efek Samping Obat

Guna mengatasi minimnya laporan, Badan POM telah mengembangkan e-MESO (Electronic Monitoring Efek Samping Obat), sebuah sistem digital yang memungkinkan tenaga kesehatan melaporkan efek samping obat dalam hitungan menit.

Baca Juga :  UMKM Meraih Omset Ratusan Juta, KK NTB X LSTF 2024 Berhasil Diselenggarakan

Dalam sesi pelatihan, dua narasumber utama, Megrina Dian Agustin dari Direktorat Pengawasan Keamanan, Mutu, dan Ekspor Impor Obat Badan POM RI serta Rachmatika Retno Saecaria dari RS Jiwa Mutiara Sukma, menjelaskan mekanisme pelaporan melalui e-MESO dan pentingnya pengawasan post-market terhadap obat yang sudah beredar.

“Semakin banyak laporan yang masuk, semakin cepat kita bisa mendeteksi risiko sebuah obat. Ini adalah langkah awal untuk mencegah tragedi kesehatan di masa depan,” ungkap Megrina.

Hanya Butuh 10 Menit, Bisa Selamatkan Ribuan Nyawa

Yosef menegaskan bahwa farmakovigilans bukan sekadar formalitas, tetapi tanggung jawab moral tenaga kesehatan untuk melindungi pasien.

“Hanya butuh lima sampai sepuluh menit untuk melaporkan efek samping obat. Tapi dampaknya bisa menyelamatkan ribuan nyawa. Jika kita abai, kita bisa jadi saksi bisu dari tragedi berikutnya,” pungkasnya.

Sebagai bagian dari evaluasi, seluruh peserta mengikuti pre-test dan post-test. Hasilnya menunjukkan peningkatan signifikan dalam pemahaman peserta mengenai farmakovigilans.

Kegiatan ini diharapkan dapat membangun budaya pelaporan efek samping obat yang lebih aktif di kalangan tenaga kesehatan. Sebab, tanpa laporan dari mereka, siapa yang akan memastikan bahwa obat yang kita konsumsi benar-benar aman?

 

Penulis : M. Zamzami Sangga Firdaus

Editor : SuluhNTB Editor

Berita Terkait

UMKM Meraih Omset Ratusan Juta, KK NTB X LSTF 2024 Berhasil Diselenggarakan
Pj Gubernur NTB Beri Apresiasi untuk Gelaran Fashion Tenun
Pj Gubernur NTB Apresiasi Atlet PWI NTB atas Raihan Medali di Ajang Porwanas
APBD Perubahan 2024, Asisten III: Harapan Kelancaran Sesuai Aspirasi Bersama Legislatif
Menjelang Karya Kreatif NTB LSTF 2024, Pj Ketua Dekranasda: Kembangkan Wastra dan Kerajinan Lokal
Aktivitas Edukasi Meriahkan Roadshow Bunda PAUD NTB di TK IT Al-Irsyad Al Islamiyah, Kelurahan Rakam, Lombok Timur

Berita Terkait

Kamis, 13 Maret 2025 - 06:41 WIB

Dari Tragedi Thalidomide ke Gagal Ginjal Akut: Seberapa Aman Obat yang Kita Konsumsi?

Minggu, 25 Agustus 2024 - 01:58 WIB

UMKM Meraih Omset Ratusan Juta, KK NTB X LSTF 2024 Berhasil Diselenggarakan

Minggu, 25 Agustus 2024 - 01:54 WIB

Pj Gubernur NTB Beri Apresiasi untuk Gelaran Fashion Tenun

Sabtu, 24 Agustus 2024 - 01:50 WIB

Pj Gubernur NTB Apresiasi Atlet PWI NTB atas Raihan Medali di Ajang Porwanas

Sabtu, 24 Agustus 2024 - 01:47 WIB

APBD Perubahan 2024, Asisten III: Harapan Kelancaran Sesuai Aspirasi Bersama Legislatif

Berita Terbaru