SULUHNTB.COM – Pada Kamis, 4 September 2025, langit Milan seolah lebih muram dari biasanya. Kabar duka datang dari dunia mode: Giorgio Armani, maestro yang menjadikan Milan bukan hanya pusat fashion, melainkan ikon elegansi global, berpulang pada usia 91 tahun.
Bagi Armani, Milan bukan sekadar alamat tempat tinggal. Kota itu adalah sumber inspirasi, denyut nadi kreativitas yang memandu tangannya ketika merancang setiap helai pakaian. Hal itu tergambar jelas dalam dokumenter pendek karya Martin Scorsese, Made in Milan (1990).
“Bangunan tua di sini tidak megah seperti di Roma, tapi mereka memiliki elegansi yang tenang, seolah berbisik,” ujar Armani dalam voice-over dokumenter tersebut.
Elegansi yang berbisik itu kemudian melekat erat pada setiap rancangan Armani: sederhana, modern, tetapi penuh makna.
Dari Piacenza ke Dunia
Giorgio Armani lahir di Piacenza, Italia, pada 11 Juli 1934. Perjalanan hidupnya bukanlah jalan lurus menuju dunia mode. Ia sempat belajar kedokteran, namun cepat menyadari bahwa hatinya tidak berada di sana. Keputusan berhenti kuliah mengantarkannya pada pekerjaan sebagai window dresser di La Rinascente, sebuah department store ternama di Milan.
Dari etalase toko itulah Armani belajar seni presentasi, harmoni warna, dan komposisi yang kelak menjadi ciri khasnya.
Dunia mode kemudian memanggil lebih keras saat ia bekerja untuk Nino Cerruti di era 1960-an. Dan pada 1975, bersama partner sekaligus sahabatnya, Sergio Galeotti, lahirlah label Giorgio Armani.
Revolusi Setelan: Ketika American Gigolo Jadi Panggung Dunia
Armani menolak aturan kaku busana formal. Setelan karyanya dikenal longgar, lembut, nyaman, tetapi tetap elegan. Palet warnanya sederhana: abu-abu, greige, charcoal. Kesederhanaan itu justru melahirkan revolusi.
Langkah besarnya datang ketika jas rancangan Armani dikenakan Richard Gere dalam film American Gigolo (1980). Adegan ikonik Gere memilih jas di depan lemari menjadi simbol lahirnya “Armani look”, gaya yang segera menyebar ke Hollywood, lalu ke New York, dan akhirnya ke seluruh dunia.
Tak lama kemudian, bintang besar seperti Julia Roberts, Jodie Foster, Michelle Pfeiffer, hingga George Clooney tampil di red carpet dengan busana Armani. Setiap langkah mereka di hadapan kamera membawa serta citra keanggunan sang maestro.
Filosofi Elegansi Tanpa Batas
Berbeda dari desainer kontemporer yang gemar bermain dengan warna cerah dan sensualitas ekstrem, Armani memilih jalan berbeda: kesederhanaan abadi.
“Pekerjaan saya hanya punya satu tujuan yaitu memberikan perempuan kekuatan batin yang lahir dari rasa nyaman dengan diri mereka dan dengan apa yang mereka kenakan,” ujarnya dalam wawancara dengan Vogue pada 2022.
Aktris Cate Blanchett bahkan menyebut rancangan Armani memiliki intense strength and serenity—kekuatan dan ketenangan yang jarang ditemukan.
Filosofi itu konsisten ia pertahankan. Armani tidak pernah silau oleh tren sesaat. Baginya, pakaian bukan sekadar mode, melainkan bahasa untuk menyampaikan rasa percaya diri.
Dari Studio Kecil ke Kerajaan Mode
Yang berawal dari studio kecil, berkembang menjadi kerajaan mode raksasa. Di bawah bendera Giorgio Armani S.p.A., lahir berbagai lini: Emporio Armani, Armani Exchange, haute couture Armani Privé, hingga bisnis hotel, restoran, bahkan cokelat.
Pada 2019, perusahaan ini mencatat pendapatan lebih dari 2,15 miliar euro, menjadikannya rumah mode terbesar kedua di Italia setelah Prada. Namun, meski bisnisnya menggurita, filosofi Armani tetap sama: elegansi yang sederhana, tak lekang waktu, dan dekat dengan manusia.
Kehidupan Hingga Akhir: Setia pada Mode
Meski sudah berusia lanjut, Armani tetap bekerja. Ia jarang melewatkan peragaan busana di Milan Fashion Week. Baru pada Juni 2025, karena masalah kesehatan, ia untuk pertama kali tidak hadir secara langsung. Namun, bahkan dari kejauhan, ia masih memantau jalannya pertunjukan melalui siaran langsung.
Dedikasi itu menunjukkan bahwa baginya, mode bukan sekadar profesi, melainkan napas kehidupan. Hingga hari terakhir, ia adalah pekerja seni yang total.
Reaksi Dunia: Bintang Kehilangan Maestro
Kabar wafatnya Armani segera memunculkan gelombang duka. Selebriti, desainer, hingga penggemar mode menuliskan penghormatan mereka.
Aktris Julia Roberts menyebut Armani sebagai legenda sejati: “A true friend. A legend.”
Donatella Versace menulis, “Dunia kehilangan raksasa.”
Sementara Uma Thurman mengenang momen bersama Armani di Festival Film Venesia 1990, ketika ia berjalan beriringan dengan Michelle Pfeiffer dan sang desainer menembus kerumunan fotografer.
“Armani dan desainnya memberi Anda kepercayaan diri untuk melakukan hal itu. Siapa lagi yang bisa memberi lebih?” kata Thurman.
Warisan yang Abadi
Kini Giorgio Armani telah tiada. Namun warisannya tetap hidup—dalam setiap setelan pria yang membebaskan tubuh dari kekakuan, dalam setiap gaun merah karpet yang memancarkan keanggunan, dalam setiap koleksi vintage yang kembali diburu pencinta mode.
Lebih dari sekadar pakaian, Armani meninggalkan filosofi hidup: bahwa kesederhanaan bisa menjadi kekuatan, bahwa elegansi tanpa batasadalah jalan untuk meraih rasa percaya diri.
Dari Piacenza hingga Hollywood, dari etalase kecil di Milan hingga kerajaan mode dunia, Giorgio Armani telah menunjukkan pada dunia bahwa fashion tidak hanya tentang kain, benang, dan tren musiman. Ia menjadikannya bahasa universal tentang keanggunan, kekuatan, dan ketenangan.
Kini, setelah kepergiannya, dunia berduka. Namun setiap jas longgar yang nyaman, setiap gaun yang penuh pesona, dan setiap langkah percaya diri di red carpet akan selalu mengingatkan kita pada satu nama: Giorgio Armani—ikon mode dengan warisan abadi. ***
Penulis : Tiara Zahrakamalia
Editor : SuluhNTB Editor
Sumber Berita: dari berbagai sumber