SULUHNTB.COM – Ketegangan kembali mencuat di surga wisata Gili Trawangan, Kabupaten Lombok Utara. Kali ini, yang menjadi sorotan adalah penutupan paksa salah satu hostel populer, MyMates Place, yang biasa menjadi persinggahan favorit wisatawan mancanegara.
Tapi siapa sangka, di balik ketenaran hostel ini tersimpan konflik panjang antara pemilik lahan dan penyewanya yang berujung pada kemarahan warga.
Penutupan itu dilakukan langsung oleh H Suriamin, pemilik sah lahan tempat berdirinya hostel tersebut. Ia menyebut penyewa hostel, Brendan Edward Muir, telah berulang kali melanggar perjanjian kontrak yang telah mereka sepakati sejak tahun 2015. Meskipun telah diberi banyak kesempatan, Brendan dinilai tidak menunjukkan itikad baik menyelesaikan kewajiban pembayaran sewa.
“Sisa pembayaran sewa lahan belum dilunasi Brendan sampai lewat batas waktu yang ditentukan sesuai perjanjian. Bahkan bukannya mau beritikad menyelesaikan tanggung jawab, tapi malah melakukan hal konyol dengan melaporkan saya ke polisi,” ujar H Suriamin dengan nada kecewa.

Menurutnya, Brendan justru datang meminta keringanan pembayaran, dan Suriamin sudah memberikan kelonggaran dengan skema cicilan. Namun, harapan itu kandas. Alih-alih menyelesaikan masalah, Brendan malah dikatakan berupaya menghindar dan tidak pernah hadir dalam setiap mediasi yang diupayakan.
Situasi ini tak hanya membuat Suriamin geram, tetapi juga memancing emosi warga Gili Trawangan yang selama ini menyaksikan konflik tersebut. Tak ayal, warga bersama tokoh-tokoh adat turun langsung mendampingi H Suriamin menutup MyMates Place secara terbuka.
Dukungan terhadap Suriamin juga datang dari berbagai pihak, termasuk Ketua Adat Gili Trawangan, Rais Purwadi, yang menyatakan bahwa tanah tersebut memang sudah lama dikuasai oleh keluarga Suriamin secara turun-temurun.
Lebih jauh, permasalahan ini memantik kembali kekecewaan lama warga Gili Trawangan terhadap pemerintah provinsi yang dianggap kurang berpihak pada masyarakat lokal. Warga merasa keberadaan mereka yang sudah membangun Gili Trawangan menjadi destinasi unggulan justru kini tergeser oleh kepentingan luar.
“Kami sudah sering diperlakukan tidak adil. Digusur berulang kali. Disaat kami berjuang membangun kampung halaman kami, kemana pemerintah? Sekarang sudah berhasil kami bangun, dengan seenaknya saja mengaku miliknya,” ujar H Rukding, tokoh masyarakat senior yang vokal memperjuangkan hak warga Gili.
Dalam perjanjian awal, Brendan menyewa lahan selama 20 tahun dengan skema pembayaran bertahap. Namun kenyataannya, kata kuasa hukum H Suriamin, Padil, SS., SH., MH, Brendan hanya melunasi 7 tahun dari total kontrak tersebut. Padahal hostel itu sudah beroperasi selama satu dekade.
“Sebenarnya kita tidak ada klaim-mengklaim dengan masyarakat lain ataupun pihak lain, melainkan ini hanya kita meminta Brendan untuk memenuhi prestasinya berdasarkan perjanjian sewa menyewa antara H Suriamin dengan Brendan,” jelas Padil.
Konflik semakin panas ketika pihak Brendan menyatakan tak bisa membayar langsung ke warga karena ‘dilarang’ oleh Pemprov NTB. Namun hal itu dibantah oleh Tim Kuasa Hukum H Suriamin, yang menyebut bahwa alasan tersebut hanya akal-akalan semata.
“Saya sudah telepon Pemprov NTB, bagian hukum dan UPTD Gili Tramena mendukung klien kami untuk menindak tegas Brendan,” ungkap David Pakabu Tana, SH, salah satu tim kuasa hukum Suriamin.
Kini, suasana di sekitar MyMates Place tampak berbeda. Hostel itu yang biasanya ramai oleh suara tawa wisatawan asing, kini sepi tak berpenghuni. Papan pengumuman penutupan terpampang jelas di pintu masuk.
Warga Gili Trawangan, yang selama ini dikenal ramah dan terbuka terhadap wisatawan, kali ini menunjukkan bahwa mereka juga bisa tegas ketika hak mereka diabaikan. ***
Penulis : SN-07
Editor : SuluhNTB Editor