SULUHNTB.COM- Sidang lanjutan kasus pelecehan seksual dengan terdakwa IWAS alias Agus kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Mataram, Senin (10/2/2025). Sidang kali ini diwarnai aksi solidaritas dari Koalisi Anti Kekerasan Seksual Nusa Tenggara Barat (NTB), yang membawa sekitar 30 simpatisan dengan poster berisi tuntutan keadilan bagi para korban.
Madiana, perwakilan Koalisi Anti Kekerasan Seksual NTB, menyatakan bahwa kehadiran mereka merupakan bentuk dukungan terhadap para pendamping korban. Pada sidang tersebut, dua pendamping korban—Ade Lativa dari organisasi Senyumpuan dan Andre Safutra dari PKBI Cabang NTB—memberikan kesaksian di depan Majelis Hakim mengenai proses pendampingan yang telah mereka lakukan selama kasus ini berjalan.
“Kami ingin memberikan dukungan moral kepada para pendamping korban serta menyuarakan agar kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan tidak lagi terjadi,” ujar Madiana saat diwawancarai di PN Mataram.
Kasus pelecehan seksual yang melibatkan Agus kini telah memasuki tahap persidangan, dengan empat saksi dihadirkan dalam sidang kemarin. Selain Ade dan Andre, pemilik serta penjaga homestay tempat Agus melakukan aksinya juga memberikan keterangan. Homestay tersebut sebelumnya telah dijadikan lokasi rekonstruksi kasus oleh penyidik Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polda NTB.
Madiana menegaskan bahwa tuntutan utama massa aksi adalah keadilan yang seadil-adilnya bagi korban, mengingat jumlah korban yang didakwakan dalam kasus ini tidak hanya satu, tetapi belasan orang.
“Hakim harus mempertimbangkan dengan serius keterangan saksi dan korban tanpa adanya intervensi dari pihak mana pun,” tegasnya.
Sejak kedatangan terdakwa Agus di PN Mataram, massa aksi dari Koalisi Anti Kekerasan Seksual NTB telah membentangkan poster dengan berbagai tuntutan di depan gedung pengadilan. Aksi berlangsung damai meskipun tanpa pengawalan ketat dari aparat keamanan.
Salah satu perwakilan massa aksi, Nurjannah, menekankan pentingnya masyarakat memahami kasus ini secara lebih luas. Ia menegaskan bahwa siapa pun bisa menjadi pelaku maupun korban kekerasan seksual, tanpa memandang kondisi fisik atau keterbatasan seseorang.
“Kerentanan seseorang tidak menutup kemungkinan baginya untuk melakukan tindak kejahatan seksual. Baik disabilitas maupun tidak, siapa pun bisa menjadi pelaku atau korban,” ujarnya.
Nurjannah berharap kasus ini menjadi pembelajaran bagi semua pihak bahwa kekerasan seksual adalah kejahatan serius yang harus diperangi bersama. Ia juga mendesak agar hakim memberikan putusan yang setimpal bagi terdakwa.
“Kalau bisa, hukumannya seumur hidup,” tegasnya.***