Dalam suasana kebatinan Nusa Tenggara Barat yang kerap terasa gaduh, bising dan dihiasi ambivalensi, Gubernur Iqbal tentu memikul beban psikologis dan sosial yang tak ringan.
Media sosial sebagai pendulang semua manusia menjadi serba hebat dan pintar, berperan besar dalam mensirkulasi kegaduhan semakin bising penuh gangguan.
Watak logika short term telah juga berperan menghiruk-pikukkan suasana. Dalam jagad yang tak terbatas itu, yang benar dan yang palsu amat sudah dibedakan. Makna dan tafsir atas satu peristiwa ke peristiwa begitu liar karena pengendalinya adalah manusia-manusia NTB yang tidak berdimensi.
NTB, dengan segala capaian dan tantangan strukturalnya, telah menjadi ruang tarik-menarik kepentingan, sumbu pendek emosi politik, dan laboratorium sosial dari wacana-wacana yang sering kali bertolak belakang. Di satu sisi, ada harapan dan semangat perubahan.
Di sisi lain, berseliweran tak henti-henti dan tanpa batas ironi. Kritik yang bukan untuk memperbaiki melainkan untuk menjatuhkan. Sindiran yang bukan untuk mencairkan melainkan membekukan. Termasuk komentar yang bukan untuk membangun melainkan merobohkan.
Inilah wajah NTB kontemporer yang menampakkan diri secara global melalui media sosial.
Dalam lanskap ini, Gubernur Iqbal berada di tengah medan yang tak mudah dipetakan. Ia tidak hanya harus mengelola birokrasi dan kebijakan publik, tetapi juga harus menyusun narasi tentang dirinya sendiri di tengah masyarakat yang telah jenuh terhadap politisi dan skeptis terhadap niat baik.
Bahkan, ketika langkah-langkah pembangunan mulai ditapakkan, yang diperbesar bukanlah fondasi kebijakan yang dibangun, melainkan ketidaksempurnaan yang masih menyertai.
Ketergesaan publik untuk menilai seringkali sebelum hasil bisa dilihat secara objektif menjadikan posisi Gubernur Iqbal tidak sekadar administratif melainkan eksistensial. Ia bukan hanya untuk memimpin, tetapi juga untuk meyakinkan bahwa kepemimpinannya layak diberi waktu dan layak diberi tawa serta riang gembira.
Karena itu, humor menjadi sesuatu yang bukan sepele. Dalam sejarah kekuasaan dunia, dari istana Bizantium, ruang kerajaan Inggris, ruang para dinasti di Cina, sampai majelis agung di istana Abbasiyah, pemimpin besar selalu dikelilingi oleh mereka yang bisa membuat tertawa.
Para badut, pelawak, dan orang-orang kecil yang jujur dalam kepolosannya, seringkali lebih diperlukan ketimbang penasihat dan juru bicara. Mereka membawa jenis kebenaran yang tidak menggurui, namun menyentuh. Tidak menampar, namun menyadarkan.
Dalam istilah Michel Foucault (2001), mereka adalah pemilik parrhesia, yakni keberanian untuk berkata benar namun dengan bahasa yang tidak mengancam.
Tradisi ini bukan sekadar anekdot sejarah. Dalam buku Fools Are Everywhere karya Beatrice Otto (2001), dijelaskan secara mendalam bagaimana para pelawak dan orang-orang gila (dalam tanda petik) dalam pengertian sosialnya justru memiliki lisensi budaya untuk menyuarakan kritik secara terbuka, yang tidak mungkin dilakukan oleh orang-orang yang terikat tata krama politik.
Dalam konteks kekuasaan, mereka menjadi ventilasi, menjadi pengingat, bahkan kadang-kadang menjadi korektor. Humor tidak berseberangan dengan kekuasaan, melainkan bagian dari ekosistemnya.
Pemimpin besar di dunia modern pun memahami peran tersebut. Barack Obama, misalnya, secara sadar menjadikan humor sebagai strategi komunikasi politik untuk menjinakkan kritik dan mendekatkan diri dengan publik.
Dalam satu wawancara, ia menyebut bahwa tertawa adalah cara terbaik untuk tetap waras dalam menghadapi tekanan kekuasaan.
Yang populer ialah Presiden Gus Dur yang memiliki kecanggihan mentertawai langit dan bumi. Presiden Gus Dur yang tak tertandingi dalam humor pun, masih memerlukan komedian untuk mendampinginya.
Bahkan dalam tradisi pewayangan Sasak, peran para punakawan seperti Amaq Ocong, Amaq Amet, Amaq Baok dan Inaq Itet menjadi sangat sentral. Menjadi jembatan antara realitas dan mimpi. Menjadi tali penghubung antara rakyat jelata dan pemimpin.
Dalam konteks NTB, hal ini menjadi semakin penting ketika kebencian diproduksi secara sistematis dan dibungkus sebagai kewaspadaan publik. Maka, Gubernur Iqbal, dalam kapasitasnya sebagai pemimpin NTB heterogen dan dinamis, memerlukan kekuatan humor untuk meretas jalan menuju legitimasi emosional.
Di NTB hari ini, di mana pertarungan wacana terasa bising dan kabur, Gubernur Iqbal membutuhkan bukan hanya kekuatan struktural, melainkan kekuatan afektif. Ia membutuhkan kehadiran orang-orang yang tidak berpura-pura, yang ketika tertawa, benar-benar menikmati kebersamaan, bukan menyusun agenda tersembunyi.
Ia memerlukan komedian yang bukan sekadar membuat lelucon murahan, melainkan yang bisa mengkritik dengan kebaikan hati. Gubernur Iqbal memerlukan orang bodoh yang bijaksana. Bukan orang bijaksana yang bodoh. Ia juga memerlukan orang miskin yang baik hati. Bukan orang kaya yang pendusta.
Memerlukan orang lemah yang tulus ikhlas. Bukan orang berkuasa yang culas. Karena dari kebaikan itulah sebuah kekuasaan bisa menemukan arah. Bukan menjadi keras karena dibenci, tetapi menjadi lembut karena dipahami.
Kita harus belajar dari sejarah bahwa dalam istana yang besar dan megah, satu lelucon dari orang kecil bisa menjadi suara hati yang paling jujur. Di masa Yunani kuno, tidak jarang para filosof memilih menjadi semacam badut filosofis (dalam tanda petik) dalam sistem yang terlalu serius.
Ia tidak menggurui, tetapi memantik pemikiran lewat pertanyaan dan ironi. Bahkan, dalam dunia pertunjukan kontemporer, seperti ditunjukkan oleh Bakhtin (1984) melalui konsep carnivalesque, ada ruang di mana struktur sosial dapat ditertawakan, dibalik, dan dirombak secara simbolik demi menjaga keseimbangan sosial. Humor menjadi bentuk komunikasi simbolik yang mencairkan.
Gubernur Iqbal memerlukan cermin itu. Bukan cermin yang membesarkan bayangan diri, tetapi yang mampu memantulkan kelucuan dari hal-hal yang tak sempurna. Malahan sangat mungkin dari situlah muncul perbaikan seperti yang ditunjukkan oleh sejarah kekuasaan.
NTB hari ini terlalu tegang. Masyarakatnya terlalu siap untuk mencela, terlalu cepat untuk kecewa. Dalam ruang publik semacam ini, hanya tertawa yang bisa menjadi jeda. Dan hanya mereka yang bisa membuat pemimpin tertawa tanpa maksud menyindir untuk menjatuhkan yang sangat diperlukan berada di dekat kekuasaan.
Sementara banyak orang sibuk memanipulasi data, mengedit kenyataan, dan mengkontruksi kesan-kesan negatif terhadap Gubernur Iqbal, orang-orang kecil di pelosok desa justru menyambut dengan canda dan secangkir kopi.
Mereka tidak meminta banyak, tetapi dalam pertemuan yang jujur itulah legitimasi sejati sering muncul. Ketulusan tidak lahir dari debat publik yang penuh siasat, tetapi dari pertemuan-pertemuan kecil yang menyisakan senyum setelah pergi.
Sebagai pemimpin, Gubernur Iqbal tidak akan kehilangan wibawa jika ia tertawa bersama rakyat kecil yang baik hati. Orang desa yang pandai menghormati dan menghargai. justru dari situ, ia akan menemukan legitimasi yang lebih kuat daripada sekadar grafik elektabilitas dan statistik capaian yang sangat berpotensi dimanipulasi.
Masalahnya bukan terletak pada kualitas kepemimpinan, melainkan pada sempitnya ruang afeksi dalam politik kita. Segala hal diukur dengan sinisme dan kecurigaan.
Kritik dibalut dengan kebencian. Pujian dibalut dengan agenda tersembunyi. Dalam suasana seperti itu, hanya tawa yang jujur bisa membedakan siapa yang benar-benar peduli dan siapa yang sekadar menunggu jatuhnya kehormatan pemimpin Gubernur Iqbal.
Di sinilah peran komedian menjadi penting. Mereka adalah penjaga batas antara kuasa dan kebebasan. Penimbang antara ketegangan dan kebijaksanaan. Dan yang paling penting, mereka mempunyai kemampuan membuat kekuasaan untuk ditertawakan.
Mereka memiliki keahlian untuk menertawakan realitas yang paling sakit sekalipun. Mereka dengan jujur dapat menemani Gubernur Iqbal untuk tertawa dalam kontemplasi yang dinamis.
Oleh sebab itu, jangan anggap sepele mereka yang bisa melucu di tengah keseriusan. Jangan singkirkan orang-orang desa yang kelihatan lugu namun berhati bersih.
Mereka bukan sekadar hiasan demokrasi. Mereka adalah denyut nadi politik yang sehat. Gubernur Iqbal sebaiknya terus membuka ruang bercengkrama dengan mereka. Menyerap logika rakyat kecil yang sering lebih masuk akal daripada para pakar, menyambut lelucon-lelucon yang sederhana tetapi mengandung hikmah. Karena dari situlah, sebuah kebijakan bisa menjadi lebih manusiawi.
Kekuasaan, jika terlalu lama terkungkung dalam ruangan serius yang mekanikal akan kehilangan kepekaan. Ia akan menjadi terlalu mekanik, terlalu prosedural, dan terlalu kaku.
Maka, ruang tertawa bukan sekadar hiburan, melainkan kebutuhan struktural dari sebuah kekuasaan yang ingin tetap hidup dan bersentuhan dengan realitas. Dan humor bukan antitesis dari kebijakan melainkan jalur lain menuju kebijaksanaan.
Gubernur Iqbal, sesungguhnya sedang diuji bukan hanya dalam hal program, melainkan dalam hal ketahanan emosional dan spiritual. Ia tidak bisa terus-menerus bertahan dalam medan logika dan tekanan target kerja.
Ia perlu istirahat dalam percakapan santai, bercanda dengan orang-orang yang tidak berpura-pura, tertawa dengan warga desa yang tidak menyimpan niat tersembunyi. Sebab, dari merekalah ia bisa melihat bahwa NTB masih menyimpan banyak kebaikan dan harapan.
Mereka menampilkan kebijaksanaan murni bahwa Gubernur Iqbal tidak hanya dituntut untuk mencetak angka kemajuan NTB melainkan tentang merawat harapan kemanusiaan.
Ketika para analis sibuk memetakan kegagalan dan para pesaing menyorot sisi-sisi lemah, barangkali yang dibutuhkan justru adalah satu tawa jujur di beranda rumah seorang petani.
Atau satu guyonan jenaka dari pelawak lokal yang tidak pernah viral, tetapi membuat Gubernur Iqbal merasa bahwa dirinya masih manusia. Inilah kekuatan humor. Dalam konteks NTB yang dinamis, hanya komedian yang bisa membuat kita tertawa dan menangis pada saat yang sama.
Dan karena itulah, Gubernur Iqbal memerlukan para komedian. Bukan karena ia sedang lemah, tetapi justru karena ia perlu tetap kuat. Bukan karena ia tidak mampu berpikir serius, tetapi karena ia tahu bahwa hanya dengan tertawa bersama, NTB bisa menghadapi kenyataan yang terlalu dikontruksi serius dan rumit.
Dunia NTB sudah cukup berat. Gubernur Iqbal perlukan pemantik tawa untuk tetap sehat jasmani dan berakal sehat. Juga sentuhan kejujuran dari orang-orang kecil untuk tetap adil pada diri sendiri dan kepada rakyat NTB. ***
Penulis : SN-07
Editor : SuluhNTB Editor