SULUHNTB.COM – Mantan Bupati Lombok Timur dua periode, HM Ali bin Dahlan, menyampaikan kritik terbuka terhadap kebijakan sejumlah kepala daerah yang mengandalkan kenaikan pajak atau utang daerah untuk membiayai pembangunan.
Politisi senior yang dikenal sebagai tokoh LSM era 1980-an dan mantan jurnalis Majalah Berita Mingguan Tempo itu menegaskan, pembangunan bisa dicapai tanpa menambah beban rakyat, asalkan pemerintah daerah mampu mengelola anggaran secara efisien dan menetapkan prioritas yang jelas.
Pandangan tersebut disampaikan Ali bin Dahlan melalui keterangan pers dan status terbarunya di akun media sosial Facebook Ali Bin Dahlan.
Dalam status tersebut, ia mengulas kasus yang terjadi di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, di mana Bupati setempat menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250 persen.
“Kebijakan itu memicu demo besar-besaran dari rakyatnya hingga akhirnya dibatalkan. Bupati Pati mungkin bergairah membangun, tapi caranya keliru. Sebenarnya cara yang paling baik adalah dengan melakukan penghematan dan pemilihan prioritas pembangunan,” tulis Ali.
Ia menambahkan, rakyat cenderung berani memprotes jika pajak daerah naik, tetapi jarang terdengar aksi serupa ketika pajak nasional, seperti PPN, dinaikkan pemerintah pusat.
“Kalau PPN naik dari 11 persen ke 12 persen, suara rakyat nyaris tak terdengar,” ujarnya dalam unggahan tersebut.
Menghemat, Bukan Membebani
Ali menegaskan bahwa menaikkan pajak hanyalah salah satu dari sekian banyak opsi yang dimiliki kepala daerah, dan bukan yang paling bijak jika kondisi ekonomi masyarakat sedang sulit.
Menurutnya, penghematan anggaran bisa menghasilkan efek yang sama, bahkan lebih berkelanjutan.
“Kurangi biaya mubazir seperti terlalu banyak acara seremonial, perjalanan dinas yang berlebihan, rapat yang tak perlu, atau penumpukan pegawai honorer. Anggaran dari pos-pos itu bisa dialihkan untuk proyek pembangunan yang lebih produktif,” tegasnya.
Ia mencontohkan, selama menjabat sebagai Bupati Lombok Timur, dirinya tidak pernah menaikkan pajak daerah secara signifikan maupun berutang.
Satu-satunya kebijakan penyesuaian yang dilakukan adalah menaikkan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), namun hanya untuk transaksi di atas Rp60 juta.
“Itu tidak membebani rakyat miskin. Yang beli tanah atau bangunan di atas Rp60 juta jelas orang mampu. Jadi wajar dikenakan pajak lebih tinggi,” katanya.
Utang Daerah, Risiko Tinggi
Ali juga menyoroti tren sejumlah bupati yang mengambil opsi berutang untuk mempercepat pembangunan infrastruktur.
Menurutnya, meski secara hukum diperbolehkan, kebijakan tersebut menyimpan risiko besar karena adanya kewajiban membayar bunga pinjaman.
“Bupati-bupati lain meniru pemerintah pusat yang gemar berutang. Tapi perlu diingat, bunga pinjaman itu besar. Kalau tidak hati-hati, daerah bisa terjebak dalam beban utang yang menggerus APBD,” ujarnya.
Ia menyebut, membangun daerah tanpa utang bukanlah hal mustahil. Kuncinya adalah keberanian mengambil keputusan yang tidak populer secara politik, seperti memangkas anggaran seremonial dan menunda proyek yang tidak mendesak.
“Kadang pemimpin takut dianggap tidak aktif membangun, padahal pembangunan yang bijak adalah yang tidak membebani generasi mendatang,” katanya.
Belajar dari Pengalaman
Sebagai mantan aktivis LSM dan jurnalis investigasi, Ali mengaku selalu menempatkan prinsip efisiensi dan keberpihakan kepada rakyat dalam setiap kebijakan. Ia mengingat betul bagaimana tekanan politik bisa memengaruhi pengambilan0 keputusan, terutama dalam hal pembangunan.
“Banyak yang beranggapan menaikkan pajak atau berutang adalah solusi cepat. Tapi saya percaya, pengelolaan anggaran yang cermat jauh lebih efektif,” ujarnya.
Ali menilai, setiap daerah punya potensi sumber pendapatan asli daerah (PAD) yang belum dioptimalkan. Mulai dari sektor pariwisata, pengelolaan aset daerah, hingga kerja sama dengan pihak swasta. “Kalau potensi ini digarap maksimal, tanpa menekan rakyat kecil, pembangunan bisa jalan,” katanya.
Pesan untuk Kepala Daerah
Di akhir pernyataannya, Ali mengajak kepala daerah untuk berpikir jangka panjang dalam mengelola keuangan daerah. Menurutnya, pembangunan tidak boleh hanya dilihat dari jumlah proyek yang diresmikan, tetapi dari seberapa besar manfaatnya bagi masyarakat dan keberlanjutannya.
“Jangan hanya berpikir tentang masa jabatan lima tahun. Pikirkan juga apa yang akan terjadi lima belas atau dua puluh tahun ke depan. Kalau kita tinggalkan daerah dengan beban pajak tinggi atau utang besar, generasi penerus yang akan menanggungnya,” tegasnya.
Ali berharap, kritik dan saran yang ia sampaikan bukan sekadar opini pribadi, tetapi menjadi bahan introspeksi bagi para pemimpin daerah. “Saya sudah membuktikan, membangun daerah tanpa menaikkan pajak berlebihan dan tanpa berutang itu mungkin. Tinggal kemauan dan keberanian yang menentukan,” pungkasnya. ***
Penulis : SN-03
Editor : SuluhNTB Editor